Antara IQ dan SQ

  • Oleh Drs. Yuskardiman, M.Pd.

IQ bangsa Indonesia tahun 2022 adalah 78. Menempati ranking 95 dunia. Sekarang menurut data 2024, Indonesia yang mengikuti tes IQ secara random yang diikuti serempak seluruh dunia dengan peserta hampir 1,7 juta orang. Hasilnya mendekati 93. Masih dibawah standar, 99-119.

IQ yang identik dengan penalaran, menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Usaha harus dilakukan. Pendidikan ternyata tidak membuat nalar bangsa bergerak naik. Ada yang mesti dibenahi. 

Yang paling membuat penalaran bangsa Indonesia cekak karena pembelajaran dilakukan satu arah. Guru subjek murid objek. Narasi ini mesti berubah. Sebelumnya guru penguasa di kelas lantas dipersepsikan kemudian guru adalah pelayan bagi muridnya. 

Guru harus bisa melayani muridnya dengan baik sehingga ilmu pengetahuan murid bertambah. Yaitu dengan membuat siswa aktif. Mencari, meneliti dan menyimpulkan sendiri. 

Dulu, penalaran baru diberikan di bangku kuliah. Dengan berpedoman pada metodologi berpikir yang selalu didahului dengan latar belakang masalah, batasan masalah, pemecahan masalah, kesimpulan dan umpan balik. 

Sekarang metodologi berpikir ini diajarkan mulai tingkat menengah. Pembelajaran tidak lagi instruksional, tapi lebih menekankan dialog. Pembelajaran mesti berjalan argumentatif. Jati diri siswa dilihat dari bakat, minat dan kemampuan. 

Bakat, minat bawaan DNA dari lahir. Kemampuan dipisahkan lagi kemampuan akademik, non akademik dan kemampuan ekonomi. Jadi dengan mengetahui latar belakang siswa guru bisa membuat batasan masalah, pemecahan masalah dan seterusnya.

Kemampuan akademik bisa diukur lewat alat evaluasi. Juga bisa dimulai dengan mengukur IQ (Intellectual Quotient). Alat ukurnya dibuat dan diperbaharui terus menerus agar hasil tes bisa menggambarkan bagaimana cara berpikir, menalar, merencanakan sesuatu, merespon sesuatu dan akhirnya menyelesaikan masalah. 

IQ lantas dipersepsikan dengan logika. Bagi sekolah dengan finansial mumpuni, pihak sekolah mengundang lembaga profit untuk melakukan tes IQ bagi siswanya. Sekolah seperti ini tidak banyak, karena tes IQ relatif mahal.

Antara 100 ribu sampai 500 ribu bergantung paket yang diambil. Bagi masyarakat kurang mampu ini terasa berat. Bagi orang mampu juga kadang enggan, takut hasil tesnya rendah. 

IQ tertinggi Indonesia BJ. Habibie, 200. Deddy Combuzier, 142. Dulu pesulap imajinatif, Mr. Bean 178. IQ standar antara 100-119. Cerdas 120-130. 

Terpikir oleh saya, pecatur di manapun berada, sebaiknya tes IQ dengan biaya mandiri. Biar bisa mengukur kemampuan, mau bicara di tingkat regional, nasional atau dunia.

Tahu berapa IQ Magnus Carlsen? 190. Pantas saja, sebab IQ 190 masuk kategori jenius.

Oleh sebab itu, menjadi tanggung jawab bersama untuk terus mensosialisasikan cara berpikir yang benar, mengasah logika dengan menciptakan hubungan interaktif yang dialogis dengan sesama. Apalagi jika anda pemegang proses, entah di pemerintahan, di organisasi kemasyarakatan dan bisa juga di dalam kelas, di dalam rumah dan di manapun. 

Pejabat sipil dan militer, para tokoh masyarakat. Pemuka agama, pengurus organisasi dan guru bukan penguasa lagi, tapi pelayan masyarakat. Jargon ini hanya muncul saat kampanye. Begitu jadi, lupa lagi lupa lagi. 

Lantas muncul apa yang diistilahkan Spiritual Quotient (SQ) cara berpikir Ilahiah. Sebagai penyeimbang IQ. Sebab seperti apa yang diucapkan manusia jenius Albert Einstein: agama tanpa ilmu, pincang. Ilmu tanpa agama, buta.

Sangat berbahaya orang berilmu tapi tidak bermoral. []

*) Penulis adalah Ketua LSBO PD Muhammadiyah Buleleng

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *