- Oleh dr. Rizani, M.Ked.
DENGUE adalah infeksi karena virus dengue yang terdiri dari komponen materi genom virus berupa ribonucleic acid (RNA) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk terutama Aedes aegypti, lalu Aedes albopticus dan spesies Aedes lainnya. Ada 4 serotipe virus dengue yaitu, DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4.
Setelah gigitan dari nyamuk, virus bereplikasi di sel dendritik subdermal Langerhans kemudian bermigrasi ke kelenjar limfe. Viremia terjadi dalam 24-48 jam sebelum onset gejala melalui sirkulasi monosit dan makrofag dan dapat menginfeksi organ.
Infeksi dengue umumnya self-limiting disease. Terjadinya demam berdarah merupakan bentuk berat dari infeksi dengue. Hal ini karena respons sistem imun abnormal sehingga terjadi yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas mikrovaskular tanpa inflamasi atau vaskulitis sehingga menyebabkan kebocoran plasma ke rongga peritoneal dan kavitas pleura.
Setelah terinfeksi oleh serotipe tertentu, seseorang akan memiliki kekebalan terhadap reinfeksi pada serotipe yang sama, namun dapat terinfeksi dengan serotipe yang berbeda.
Spektrum klinisnya luas, mulai dari penyakit demam ringan hingga kondisi parah dan berpotensi fatal seperti Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).
Klasifikasi Dengue
Probable Dengue: Demam dan dua dari yang berikut: mual/muntah, ruam, nyeri otot, tes tourniquet positif, leukopenia.
Dengue dengan Tanda Peringatan: Nyeri perut, muntah terus-menerus, akumulasi cairan, perdarahan mukosa, lesu, pembesaran hati, bukti laboratorium peningkatan hematokrit dengan penurunan cepat jumlah trombosit.
Dengue Parah: Kebocoran plasma parah yang mengarah ke syok atau gangguan pernapasan, perdarahan parah, keterlibatan organ parah (misalnya, hati, CNS, jantung).
Dengue berkembang melalui tiga fase klinis yang berbeda: fase febrile, critical, dan fase recovery.
Fase Demam
Demam tinggi mendadak dengan suhu dapat mencapai 40 derajat Celsius yang dapat berlangsung selama 2-7 hari. Dapat diikuti dengan gejala tambahan seperti ruam kemerahan di kulit, mialgia, arthragia, nyeri kepala, nyeri menelan, mual, muntah, mata dan wajah merah.
Manajemen: Monitor untuk dehidrasi, kelola demam, dan berikan perawatan simtomatik.
Fase Kritis
Pada fase kritis, ditandai dengan kebocoran plasma karena penurunan permeabilitas kapiler yang ditandai dengan nilai hematokrit naik 20% dari nilai dasar, serta nilai trombosit dan leukosit mengalami penurunan cepat. Kebocoran plasma berlangsung selama 24-48 jam dan biasanya terdapat di rongga peritoneal yang dapat dideteksi dengan peleriksaan ultrasonografi abdomen. Risiko terjadi perdarahan dan disfungsi hati meningkat pada fase ini.
Manajemen: Monitoring ketat untuk tanda-tanda syok, berikan cairan dengan hati-hati.
Fase Penyembuhan
Pada fase ini, terjadi penyerapan cairan ekstravaskular,nilai leukosit& trombosit mulai naik serta hematokrit menurun, berlangsung selama 48-72 jam.
Gejala: Resorpsi cairan, perbaikan kondisi umum, nafsu makan, diuresis, ruam, pruritus umum.
Manajemen: Monitor untuk kelebihan cairan, dukung pemulihan umum.
Tatalaksana dengue adalah terapi suportif seperti pemberian cairan, antipiretik, dan analgetik. Saat ini belum ada antivirus yang terbukti untuk menyembuhkan infeksi dengue, namun dalam beberapa penelitian menemukan efektifitas pemberian methisoprinol dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi pada infeksi dengue.
Pilar utama manajemen dengue adalah resusitasi (penggantian) cairan yang hati-hati, terutama selama fase kritis. Pemulihan cepat volume plasma sirkulasi sangat penting untuk mencegah DSS.
Indikasi untuk transfusi termasuk perdarahan signifikan atau jumlah trombosit <10,000/mm³ dengan kecenderungan perdarahan.
Transfusi trombosit harus disimpan untuk pasien dengan perdarahan mukosa parah yang tidak terkontrol oleh perawatan suportif.
Transfusi Sel Darah Merah:
Diindikasikan dalam kasus perdarahan parah atau anemia signifikan (hemoglobin <7 g/dL).
Manajemen Komplikasi
Hemophagocytic Lymphohistiocytosis (HLH): adalah kondisi hiper-inflamasi parah yang ditandai dengan demam persisten, pancytopenia, hyperferritinemia, dan peningkatan lactate dehydrogenase (LDH).
Manajemen meliputi kortikosteroid dan intravenous immunoglobulin (IVIg).
Komplikasi Jantung, Komplikasi Hepatik, Komplikasi Ginjal, Komplikasi Pernafasan, Komplikasi Neurologis, Expanded Dengue Syndrome (EDS)
EDS mencakup keterlibatan multi-organ, termasuk sistem kardiovaskular, gastrointestinal, ginjal, pernapasan, hematologis, dan neurologis. Manajemen EDS fokus pada perawatan suportif yang disesuaikan dengan organ yang terpengaruh.
Faktor Prediktif untuk Dengue Parah
Fitur klinis yang terkait dengan dengue parah termasuk muntah terus-menerus, nyeri perut, lesu, perdarahan mukosa, hepatomegali, dan penanda laboratorium seperti AST/ALT yang meningkat, hipoalbuminemia, dan sitokin yang meningkat (misalnya, IL-10, IL-8).
Koinfeksi Dengue dan SARS-CoV-2
Koinfeksi dengan dengue dan SARS-CoV-2 menimbulkan tantangan karena fitur klinis yang tumpang tindih dan potensi penyakit parah. Manajemen memerlukan diferensiasi yang cermat dan perawatan suportif untuk kedua kondisi.
Vaksin Anti-Dengue
Lima jenis vaksin dengue sedang dikembangkan: vaksin virus hidup yang dilemahkan, vaksin virus yang inaktivasi, vaksin subunit rekombinan, vaksin vektor virus, dan vaksin DNA. Dengvaxia (CYD-TDV) adalah satu-satunya vaksin yang dipasarkan, direkomendasikan untuk individu berusia 9-45 tahun di daerah endemik dengan infeksi dengue sebelumnya.
Standar terapi dengue saat ini adalah terapi cairan dan suportif seperti pemberian antipiretik dan analgetik. Beberapa penelitian menemukan efektifitas pemberian methisoprinol dapat mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi pada infeksi dengue. Methisoprinol adalah kompleks sintesis dari inosine dan dimethilaminoisopropanol yang termasuk dalam antivirus sebagai terapi pada infeksi virus, imunomodulator atau imunostimulan.
Obat ini pertama kali diresmikan pada tahun 1971 dan saat ini telah dipasarkan di lebih dari 70 negara. Methisoprinol biasa digunakan pada kondisi infeksi virus seperti varisela, mumps, rhinovirus, ensefalitis, hepatitis A, hepatitis B, herpes genital dan infeksi virus lainnya.
Sebagai imunomodulator, methisoprinol diketahui dapat menginduksi respon dari sel T helper 1, yang ditandai dengan peningkatan kadar sitokin pro inflamasi seperti interleukin 2 dan interferon gamma, kemudian menginisiasi maturase sel limfosit T dan respon limfoproliferatif. Methisoprinol menimbulkan efek supresif pada sitokin dan meningkatkan jumlah sel Natural Killer (NK) yang merupakan sel imun alamiah untuk petahanan tubuh terhadap infeksi virus.
Selain itu, methisoprinol juga berperan pada sistem imun humoral sehingga menstimulasi sel limfosit B ke dalam sel plasma dan meningkatkan produksi antibodi, Methisoprinol juga berperan sebagai antivirus dengan menghambat repilkasi beberapa virus RNA dan DNA. Pemberian segera methisoprinol dapat mengurangi terjadinya imunosupresi akibat infeksi virus.
Penelitian pada anak yang terinfeksi dengue menunjukan, pemberian methisoprinol menimbulkan penurunan durasi demam, terjadinya leukopenia dan trombositopenia. Pada kasus infeksi dengue, terjadinya leukopenia biasa ditemukan pada fase kritis. Pemberian methisoprinol dapat menurunkan angka kejadian leukopenia sebesar 56% karena efek imunomudulator pada methisoprinol sehingga menyebabkan kenaikan dari sel leukosit. Sedangkan mekanisme methisoprinol dalam mencegah terjadinya trombositopenia serta memperpendek durasi demam masih belum diketahui. []
*) Penulis adalah Wakil Ketua PD Muhammadiyah Buleleng

